Sunday, February 26, 2012

CALENDAR OF EVENTS - FEBRUARY 2012

1st & 2nd February – Hari Raya Galungan & Umanis Galungan
Galungan is a Balinese holiday that occurs every 210 days and lasts for 10 days. Kuningan is the last day of the holiday (see below). Galungan means 'When the Dharma is winning' – Dharma being good over evil. During this holiday the Balinese Gods visit the earth and leave on Kuningan. During the Galungan period the deified ancestors of the family descend to their former homes to be entertained by those on earth.
Although Galungan falls on a Wednesday, most Balinese will begin their Galungan 'holiday' the day before – on the 5th. 'Penjors' can be seen lining the streets to welcome good fortune to those who pass below to enter family homes. On Wednesday the 6th, the day of Galungan, most Balinese will try to return to their own ancestral home at some stage during the day, even if they work on another part of the island. As well as the family temples, visits, with offerings, are also made to the main village temple, and to the homes of other families who may have helped the family in some way over the past six months. The day after Galungan, the 7th, is a time for relaxation; visiting friends and maybe taking the opportunity to head to the mountains or beaches for a picnic.


February 5th – Islamic Holiday - Maulid Nabi Muhammad
Today is a national holiday to celebrate the Islamic Prophet Muhammad's birthday therefore all banks, government offices and some commerce will be closed.


7th February – Full Moon - Purnama Kawolu
The full moon (which has particular importance to the Balinese Hindus) falls on this day and ceremonies are held throughout the Hindu temples all across Bali. The Balinese that adhere to the Hindu Dharma religion will take offerings of food, fruit and flowers to the temple to be blesses by the priest. It is the essence of theses offerings that will be enjoyed by the deities. The Balinese themselves are then blessed by performing various rituals using holy water, incense smoke, petals and rice grains.


11th February – Hari Raya Kuningan
This day is always celebrated 10 days after Galungan and on a Saturday marking the end of the festivities, sending deified ancestors back to the heavens. There will be many colourful temple ceremonies, with the Balinese suitably attired coming to and fro, according plenty of photo opportunities. Please be patient when on the roads.


14th February – Valentines Day
The international day of love… a day to be romantic or to propose if it's on the cards. Choose to share a beautiful meal at one of the many stunning, seductive venues on offer. This is a day to get close to those dearest and nearest. Alternatively, one of the many day spas listed in this edition offer pampered packages for two to get the intimate mood flowing.


21st February – Dark Moon - Tilem Kawolu
The Balinese adhering to the Hindu Dharma religion will celebrate 'Tilem' in temple ceremonies, which are mostly held in every major temple and family shrines around the island of Bali. On this day Hindus make offerings to the Gods, placed on the ground at the entrance of each housing compound. The aim is to beg God's grace; so that one's dark thoughts will be illuminated by Him.


29th February – Leap Year
Every four years is known as a leap year, with 29 days in February instead of the usual 28!.

Wednesday, February 22, 2012

Kafe Bahasa: FREE EVENT

http://www.cintabahasa.com/kafebahasa/

Welcome to Kafe Bahasa!

Bar Luna & Cinta Bahasa Indonesian Language School mempersembahkan:

Kumpul-Kumpul Budaya Campur dalam Bahasa Indonesia

Ayo, tunjukkan kepedulianmu terhadap bahasa & budaya Indonesia dengan datang dan berpartisipasi di Kafe Bahasa – Bar Luna, setiap Jumat, dua kali sebulan! Akan ada pertunjukan musik, pemberian materi oleh pembicara asing/Indonesia, serta diskusi dengan komunitas lokal & ekspat. Dapatkan pengalaman lintas-budaya, lintas-bahasa & ekspresikan opinimu tentang topik hangat yang dibicarakan!

==========================================


An Evening of Presenters and Performers in the Indonesian Language

Whether you are fluent in Indonesian, or just starting to learn the national language, Kafe Bahasa is a great place to meet and mingle with the local community, learn about interesting things going on in Bali, hear some great presenters and performers, and improve your Indonesian by joining the conversation! Kafe Bahasa is twice-monthly, so sign up to receive an email about the next event. If you need interpretation, please ask your Indonesian-speaking friends to come with you!

Grup Gedebong Goyang – G3
Next Event:

Friday, February 24, 2012
7-9pm
Bar Luna, Jl. Gootama

Presenter & Performer: Grup Gedebong Goyang

==========================================

Grup Gedebong Goyang (G3) terdiri dari empat penyanyi/penari yaitu: Rucina Ballinger, Alex Ryan, Antonella De Santis, dan Suzan Kohlik dan lima pemain band dari DA BIYU BAND yang dipimpin oleh Kadek Balon.

Gedebong dibentuk dengan tujuan untuk menghibur komunitas lokal dengan membawakan lagu-lagu pop Bali, dangdut, reggae dan Bali rock alternative serta lelucon yang mengandung kritik sosial ringan. Keempat wanita asing tersebut telah puluhan tahun tinggal di Bali, bersuamikan orang Indonesia dan sangat mencintai Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya.

Kecintaan mereka pada Indonesia dan Bali dibuktikan dengan fasihnya bahasa Indonesia mereka, kepedulian mereka terhadap budaya-sosial, bahkan beberapa diantara mereka lancar berbahasa Bali!

Ayo tonton serunya penampilan Gedebong yang akan mengangkat tema budaya dan sosial dalam bahasa Indonesia di Kafe Bahasa, Bar Luna!

Semua bisa berbahasa Indonesia dan rata-rata bisa berbahasa Bali.

==========================================
Grup Gedebong Goyang (G3) is a group of four performers: Rucina Ballinger, Alex Ryan, Antolla De Santis and Suzan Kohlik, together with five musicians, Da Biyu Band led by Kadek Balon.

They entertain singing Balinese Pop, Dangdut, Reggae and Alternative Bali Rock to provide humor and touch on social issues at the same time. These four foreign women have lived in Bali for many years, are married to Indonesian husbands, and love Indonesia in general, and Bali in particular! They all speak Indonesian, and most of them speak Balinese as well.

==========================================

4 Wanita di Balik Grup Gedebong Goyang:


Alex Ryan jatuh cinta dengan Indonesia pada tahun 1993 saat mengelilingi Kalimantan sebagai aktivis hutan. Dari sana hubungannya dengan nusantara yang tidak pernah putus. Alex memiliki gelar S1 Bahasa Indonesia dan Sosiologi dan terakreditasi sebagai penerjemah dan juru bahasa Indonesia dengan NAATI. Bersama suami yang berasal Kalimantan, Alex tinggal di Indonesia sejak tahun 2003 bersama ketiga putranya yang cakap. Saat ini dia bekerja sebagai konsultan untuk isu sosial dan lingkungan, mengelola perusahaan bisnis kayu bekas bernama Kaltimber dan menjabat sebagai anggota tim penasehat di perkumpulan Bali Cantik Tanpa Plastik.

Suzan Kohlik sudah tinggal di Bali sejak tahun 1996. Pekerjaannya sebagai seniman keramik membuatnya tertarik dengan lingkungan Ubud yang terkenal sebagai pusat seni di Bali. Di sini, Suzan juga bisa melihat peluang untuk membuat studio keramiknya. Karya keramik yang kontemporer diajarkan di berbagai lokakarya. Pada tahun 1999 dia menikah dan saat ini, pernikahannya telah membuahkan seorang remaja cantik. Suzan juga membuka sebuah kafe bernama JUICE JA pada tahun 2000 di Ubud. Karya keramik Suzan yang paling laris adalah piring “gedebong” dimana irisan gedebong dipakai sebagai cetakan!

Antonella deSantis tinggal di Bali sejak tahun 1992. Dia jatuh cinta pada tarian dan kesenian Bali, yang membuatnya juga jatuh cinta dan menikahi seorang dalang bernama I Wayan Wija. Mereka berdua memiliki dua putri yang cantik2! Dia mempromosikan wayang kulit dengan membawa rombongan suaminya ke beberapa beberapa festival di Itali, Jerman, Austria, Australia, Jepang, dan Amerika. Dia juga pemilik restoran Itali di Ubud bernama Black Beach yang juga dikenal sebagai tempat pemutaran film-film dari mancanegara. Selain itu, Antonella juga membuka sebuah butik yang menjual baju dan perhiasan yang ia rancang sendiri.
P.S: sampai sekarang Antonella belum bisa mengucapkan kata "sangat" dengan baik!

Rucina Ballinger mulai mempelajari tari Bali sejak tahun 1973 dan kemudian memutuskan untuk tinggal di Bali pada tahun 1974. Pernikahannya dengan AA Gede Putra Rangki membuahkan dua anak laki-laki yang luar biasa ganteng! Dia bekerja sebagai konsultan di Yayasan Annika Linden, dan Ibu yang fasih berbahasa Indonesia dan Bali ini juga menulis tentang budaya Bali. Kesibukan lainnya adalah mengelola Dhyana Putri Adventures (program edukatif/budaya) dan menjadi wakil presiden di Rotary Club Ubud Sunset sejak tahun 2010. Bukunya BALINESE DANCE, DRAMA AND MUSIC: AN INTRODUCTION TO BALINESE PERFORMING ARTS ditulis bersama Wayan Dibia dan telah dipublikasikan pada tahun 2004.

TANDA HATI by Tony Raka

Tonyraka Art Gallery mengundang Teman-Teman untuk hadir di pembukaan pameran 4 perupa Bali ( I Wayan Sudarna Putra, I Ketut Suwidiarta, I Gusti Ngurah Buda, I Wayan Sandika) yang bertajuk TANDA HATI,

pada Jumat, 24 Februari 2012, pukul 18.30 wita di Tonyraka Art Gallery, Jl. Raya Mas 86, Mas, Ubud, Bali.

Pameran akan berlangsung hingga 16 Maret 2012.

Sampai jumpa!

_________________________________________________________

Membaca “Tanda Hati” Empat Perupa

Setiap perupa harus memiliki persoalan atau gagasan yang hendak dituang ke hamparan kanvas sehingga menjadi karya yang memiliki nilai dan maknanya sendiri. Persoalan atau gagasan itu bisa berasal dari diri si perupa sendiri atau dari interaksi perupa dengan lingkungan sosial atau pergaulan yang lebih luas. Perupa yang kreatif selalu berupaya menyerap setiap persoalan atau gagasan yang mengusik pikiran dan perasaanya, yang kemudian mengendap menjadi bahan renungan, dan menyublim ke dalam bentuk-bentuk karya yang diciptakannya.

Pada akhirnya, setiap karya seni akan menjadi “tanda hati”, suatu jejak atau tilas yang lahir dari ruang renungan perupa terhadap berbagai persoalan atau gagasan. Tak hanya perupa, setiap manusia sebagai sosok individu juga memiliki tanda hatinya sendiri, sebagai ungkapan ekspresi di dalam menjelajahi ruang-ruang sosial dan budaya. Tanda hati adalah ekspresi sekaligus juga eksistensi. Dalam tataran kualitas-kualitas tertentu, setiap manusia adalah seniman. Bahkan, Tuhan pun adalah Seniman Agung yang mengkreasi jagad raya beserta isinya. Jadi, jelaslah tanda hati lahir dari kesadaran jiwa “yang tercerahkan” oleh berbagai rupa persoalan atau pun gagasan.

Pameran ini menampilkan “tanda hati” dari empat perupa, yakni I Ketut Suwidiarta, I Wayan Sandika, I Wayan Sudarna Putra dan I Gusti Ngurah Putu Buda. Mereka adalah perupa yang cukup lama berkecimpung di ranah seni rupa, dengan karya-karya yang memiliki karakter tersendiri dan mengusung persoalan atau gagasan yang beragam. Selain kemampuan teknis, bukankah setiap perupa harus memiliki gagasan atau persoalan yang hendak dituang ke dalam bentuk karya? Suatu karya tanpa gagasan hanyalah omong kosong, sama halnya dengan wadah tanpa isi. Bahkan sebidang lukisan abstrak pun harus mengandung suatu gagasan.

Gagasan tentu lahir dari tingkat kepekaan dan kecerdasan si perupa dalam menyerap, menyikapi, mengritisi berbagai fenomena yang terjadi, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Persoalannya sekarang adalah di bawah bayang-bayang kecanggihan teknik, dunia seni rupa kita malah miskin gagasan. Ke depan, perlu lebih banyak lahir gagasan-gagasan bernas sehingga seni rupa kita bisa diperhitungkan di tingkat internasional.

Agar tidak ngelantur terlalu jauh, ijinkan saya menjadi penyambung lidah empat perupa ini untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang semayam di benak mereka, serta mengulas satu dua karya mereka. Sebagai benang merah, pameran “Tanda Hati” ini didasari upaya-upaya mengungkap fenomena-fenomena ironis maupun satir yang terjadi di berbagai lini kehidupan. “Tanda Hati” merupakan kesaksian perupa atas berbagai persoalan atau peristiwa yang mengusik nuraninya.

Tanda hati serta gagasan karya-karya Suwidiarta bersumber dari persoalan globalisasi yang hingga kini banyak menimbulkan fenomena baru. Batas-batas negara seolah tak ada. Dalam fenomena internet, misalnya, dunia menjadi seukuran layar laptop, tablet, ponsel. Warga negara menjadi warga dunia. Perlahan rasa nasionalisme terkikis. Negara tak lagi menjadi soko guru kehidupan. Orang-orang mencari formulasi baru dengan mencomot berbagai budaya dan filosofi. Suwidiarta berupaya merangkum berbagai persoalan dari latar-latar budaya yang berbeda, terutama persoalan hilangnya rasa kebangsaan. Fenomena ini memunculkan ironi, satir, parodi yang bisa kita saksikan lewat karya-karya seni rupanya.

Misalnya, pada lukisan berjudul “Triumph of Death” dan “Lost”, Suwidiarta memainkan berbagai ikon dan simbol lintas budaya dengan nuansa parodi yang kental. Sosok Gajah Mada berbalut kostum jenderal terlentang disangga anak-anak panah layaknya adegan Bhisma Gugur dalam epos Mahabarata, dikerubungi dan diratapi oleh tokoh-tokoh dari berbagai ras dan negara. Karya-karya ini merepresentasikan makin samarnya batas-batas mitos, epos, etnis, ras, budaya, negara, rasa nasionalisme, di tengah arus deras globalisasi yang terus mengalir hingga detik ini.

I Wayan Sandika meramu gagasan-gagasan karyanya dari persoalan yang paling dekat dengan diri manusia, yakni keluarga. Sandika merenungi kembali hakikat hubungan orang tua dan anak. Dalam psikologi anak diibaratkan kertas putih yang siap diisi dengan aneka warna kehidupan. Anak dengan mudah menyerap dan meniru perkataan dan perbuatan orang tuanya. Jika orang tua sering berkata kasar, maka dapat dipastikan anak pun akan suka berkata kasar. Begitu pula jika anak dididik dengan kasih sayang, maka anak akan tumbuh sesuai didikan orang tuanya.

Di tengah kesibukan orang tua, anak-anak sering terabaikan. Bahkan, mereka bisa tumbuh liar dengan menyerap atau meniru hal-hal yang tak pantas. Lukisan berjudul “Massage” dengan ironis menampilkan balita (bayi di bawah lima tahun) yang asyik merokok sambil berendam di bak air. Sebelumnya, di situs youtube pernah muncul video balita yang merokok. Mungkin maksudnya untuk lucu-lucuan, namun video itu dikecam masyarakat dunia sebagai suatu bentuk eksploitasi dan mengajarkan hal yang tak pantas pada anak-anak. Sementara itu, lukisan ini jelas tujuannya bukan untuk lucu-lucuan, melainkan terkandung suatu pesan agar hati-hati mendidik anak.

Ironi-ironi hubungan orang tua dan anak juga muncul dalam lukisan-lukisan Sandika yang lain. Pada lukisan “Single Parent”, Sandika menampilkan sosok wanita seksi menenteng dua bungkusan, masing-masing berisi boneka dan balita. Yang menjadi fokus sekaligus pesan pada lukisan ini adalah cara wanita itu memperlakukan anaknya sungguh jauh dari sifat seorang ibu yang penuh kasih sayang. Seringkali kesibukan mengejar karir berdampak pada telantarnya anak-anak. Di lukisan ini tampak si balita diperlakukan sama dengan benda atau boneka yang mudah ditenteng. Seolah si balita bukanlah manusia yang perlu dicurahi kasih sayang.

Tak banyak yang mampu mengenali dirinya sendiri. Sebab mengenali diri sendiri dan mengakui diri seutuhnya memerlukan kesiapan mental. Manusia sering dikendalikan oleh pencitraan diri dan seringkali bereaksi terhadap penilaian dari lingkungannya. Pencitraan diri adalah topeng yang sengaja dipakai manusia untuk menutupi keburukan atau kekurangannya. Perlu kesiapan mental dan kesadaran diri untuk membuka topeng-topeng itu sehingga manusia mencapai keutuhannya, memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Hal-hal inilah yang menjadi gagasan dan perenungan karya-karya I Wayan Sudarna Putra.

Seri lukisan terbaru Sudarna yang bertajuk “Si Buruk Rupa” merupakan bagian dari proses pengenalan dirinya sendiri. Ada pertanyaan besar yang terus menerus menjadi bahan renungannya: siapakah aku ? Tak henti dia memburu jati dirinya sebagai manusia. Representasi wajah-wajah buruk yang digubah dari wajahnya sendiri merupakan bentuk pengakuan ketaksempurnaan diri, semacam autokritik. Wajah-wajah itu tertempel di kaca, pipih, tak berbentuk, bahkan tampak menjijikkan. Menyimak karya-karya ini, saya jadi berpikir: sesungguhnya manusia adalah mahkluk yang paling menjijikkan, yang selalu berupaya meraih kesempurnaan.

Lewat representasi abstraksi yang cenderung kelam, I Gusti Ngurah Putu Buda menyuguhkan gagasan dan persoalan yang berkaitan dengan diri sendiri (konflik batin), konflik sosial, krisis global, dan berbagai peristiwa kelam yang terjadi akhir-akhir ini, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Berbagai persoalan dan peristiwa di dalam dan luar diri bersenyawa membentuk cara pandang yang cenderung pesimis. Seolah semua menghadapi kuldesak (jalan buntu), dan seakan tak ada solusi yang berarti. Namun, kalau direnungi lebih seksama, segala persoalan dan peristiwa pada akhirnya menempa manusia untuk berupaya menemukan celah-celah harapan, yang membuat manusia masih betah bertahan mengarungi kehidupan.

Begitulah. Karya-karya Gusti Buda yang cenderung menggunakan warna-warna gelap merupakan cerminan persoalan yang terjadi di dalam dirinya dan persoalan sosial yang lebih luas. Misalnya, lukisan “Dark Neast” bertolak dari fenomena sosial yang bagaikan ranah kelam dan manusia berada dalam situasi tak menentu, gelap tanpa harapan. Namun, melalui lukisan “Toward Light”, Gusti Buda menyampaikan pesan bahwa dalam setiap kegelapan, cahaya sekecil apa pun bisa dimaknai sebagai harapan.

Empat perupa telah menyuguhkan tanda hatinya. Yakni, karya-karya yang mewakili cerminan hati nurani masing-masing perupa ketika merespon berbagai persoalan, baik yang bersumber dari dalam diri maupun luar diri. Selanjutnya, terserah apresian memaknai kembali masing-masing tanda hati itu. Semoga berguna.

Oleh :
Wayan ‘Jengki’ Sunarta
Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah seni lukis di ISI Denpasar.

Denpasar dalam Puisi

Denpasar dalam Puisi

Berkaitan dengan HUT Kota Denpasar, Dapur Olah Kreatif (DOK) Denpasar akan menggelar Malam Apresiasi Puisi dan Diskusi, pada Sabtu, 25 Februari 2012, Jam 19.00 wita, di Warung Tresni, Jl. Drupadi No. 54, Renon, Denpasar.

Acara akan diisi dengan pembacaan puisi bertema Denpasar oleh Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, Didon Kajeng, Ni Made Purnamasari, Pranita Dewi, Mira Astra. Selanjutnya akan digelar diskusi bertajuk “Denpasar dalam Puisi”, dengan pembicara Tan Lioe Ie, dipandu Wayan Sunarta. Acara gratis dan terbuka untuk umum. Silakan datang….

.

.